Selasa, 10 Januari 2017

Contoh Penulisan Feature Profil Tokoh

 Menulis Adalah Suatu Keharusan, Bukan Skill dan Bakat


Profil Jufrizal

Banda Aceh. Jufrizal, adalah sapaan yang khas oleh teman-teman serta mahasiswanya. Ia adalah anak ke-3 dari pasangan M. Daud dan Rosnah. Ayahnya yang hanya lulusan SD bekerja sebagai petani. Sedangkan ibunya yang lulusan SMP bekerja sebagai tukang jahit. Pria kelahiran Meureudu, Aceh Jaya ini memiliki perawakan mirip penulis serta sutradara film profesional. Mempunyai rambut panjang dan rada-rada berantakan merupakan favoritnya. Gaya bicara yang sering menggunakan “aku” dalam percakapannya seakan mengingatkan kita pada penulis terkenal Khairil Anwar. Penulis yang populer dari puisinya yang berjudul AKU, ya memiliki sedikit kemiripan dengan Jufrizal. Letak kemiripannya pada profesi kedua tokoh tersebut, mereka sama-sama hobi menulis.
Pria berumur 32 tahun ini memilki profesi serta pekerjaan sebagai dosen dan penulis. Beliau mengajar studi-studi tentang jurnalistik di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry. Kampus yang dulu membesarkan namanya.  Ia juga diberi tugas sebagai staf dekan.

Namun, walaupun di sibukkan waktu mengajar yang padat serta sebagai staf dekan, ia masih tetap meluagkan waktu untuk menulis. Biasanya, fakta dan realita yang terjadi di masyarakat yang tidak terlalu di pandang oleh pemerintah menjadi bahan kritikan beliau dan dituangkan dalam tulisannya yang dikirimkan keberbagai media yang mau memuat tulisannya.

Perjuangannya untuk mencapai titik sekarang ini terbilang memotivasi siapa pun yang mendengarnya. Pasalnya, banyak kisah menarik dari SD hingga ia menyelesaikan studi S2 nya di China yang patut untuk diketahui. Apalagi topik yang menginspirasinya untuk menjadi seorang penulis yang patut diperhitungkan di masa kuliahnya. Penulis akan sedikit membahas kisah-kisah beliau yag akan menginspirasi kita menjadi seorang penulis.

Di awali dengan kisah masa kecilnya, suatu hari di SD Meureudu tepatnya ketika ia kelas 3, seorang guru memberikan tugas mengarang bebas kepada jufrizal dan teman-teman sekelas. Lalu dengan kemampuan menulis yang belum ada, ia mencoba untuk menulis seadanya. Hasilnya, teman-teman dan gurunya mengejek dan menertawakan ia karena yang ia tulis tidak jelas bahasa apa. Indonesia, China, Inggris dan negara lainnya tidak masuk dalam tata bahasa penulisannya. Pasalnya, ia memang siswa yang belum bisa membaca dan menulis, bahkan dari kelas 1 hingga kelas 3. Dari peristiwa itulah ia terinspirasi bahwa saya harus tetap menulis, menulis dan menulis.
Setelah ia belajar sungguh-sungguh, ia pun dapat membaca dan menulis. Di bangku SMP dan SMA ia mulai berprestasi dan mendapatkan ranking yang memuaskan.

Setelah menyelesaikan bangku sekolah di MAN Meureudu, beliau melanjutkan studinya ke Kota Banda Aceh. Ia akhirnya diterima di jurusan KPI (Komunikasi dan Penyiaran Islam), IAIN Ar-Raniry (sekarang UIN). Di bangku kuliahlah ia mendapatkan banyak pengalaman menjadi seorang wartawan.

Semester 3 ia mulai bergabung dengan organisasi-organisasi kampus. Terutama sekali di himpunan mahasiswa jurusan. Selain itu, ia juga tergabung di organisasi-organisasi yang basicnya menulis. Dari sini ia mulai mencoba-coba menulis apapun. Karena dengan bakat dan kemampuannya menulis, semester 5 ia mulai bekerja di media. Gaji pertamanya terbilang fantastis bagi penulis pemula yaitu 700 ribu. Media perdana tempat ia bekerja tersebut ialah PANTAU. Pada masa itu pimpinan Pantau adalah Andreas Hartono.

Selain aktif menulis di Pantau, ia juga aktif di SumberPost dan Aceh Feature. Ia juga sosok yang berperan penting dalam berdirinya SumberPost. Di Pantau dan Aceh Feature pada masa itu ada  6 orang penulis aktif asli Aceh. Karena keprihatianan 3 orang tokoh pimpinan Pantau terhadap dunia jurnalis di Aceh, tahun 2008 mereka mengajar studi jurnalistik di kampus IAIN Ar-Raniry. Ke tiga tokoh itu yaitu, Andreas Hartono, Samiadji Bintang dan Linda Chisyanti. Jufrizal banyak mendapat ilmu jurnalistik dari Linda dan Andres, karena ia merasakan langsung diajarkan oleh mereka.

Setelah 5,5 tahun melanglang buana menjadi penulis dan mahasiswa, ia baru bisa menyelesaikan studinya pada tahun 2011. Motivasi beliau untuk menyelesaikan skripsinya tidak lain karena orangtua. Lalu pertanyaannya, kenapa seorang penulis sendiri selama itu menyelesaikan skripsinya. Jawabannya, karena ia sudah nyaman menjadi penulis di beberapa media dan sudah tidak terlalu fokus pada skripsinya. Akhirnya, orang tuanya sendiri yang mengingatkan beliau untuk menyelesaikan studinya.

Kemudian, ia melanjutkan studinya ke Nanchang University di China dengan bantuan beasiswa selama 3 tahun.
Dalam sesi wawancara beberapa waktu yang lalu, Jufrizal mengatakan “menulis adalah suatu keharusan, bukan skill dan bakat”, inilah yang menjadi inspirasi saya. 

Senin, 20 April 2015

Studi Syariat Islam di Aceh, Kondisi Syariat di Aceh

Makalah Final  Study Syari’at Islam di Aceh

STUDY SYARI’AT ISLAM DI ACEH


 Oleh :

Suryadi
Nim : 140401152

Dosen Pembimbing :

Iwan Doa Sempena
 







Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
Banda Aceh
2015


PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang lebih dikenal  Undang-Undang Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh. Sebab, inti dari pada undang-undang ini adalah pertama, penyelenggaran kehidupan beragama yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat, dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama; dimana daerah kewenangan untuk dapat diberi kewenangan untuk dapat membentuk lembaga agama dan tetap mengakui lembaga-lembaga agama yang sudah ada.
Sejak izin dan kewenangan-kewenangan tersebut diberikan kepada Daerah Nanggroroe Aceh Darussalam melalui Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 ini, maka Dewan Perwakilan Daerah Aceh (DPRA)  bersama Pemerintah Daerah Anggroe Aceh Darussalam (PEMDA NAD) telah menyusun dan menetapkan berbagai Peraturan Daerah atau Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur, dan juga berbagai Praturan Daerah atau Qanun di tingkat II Kabupaten/kota di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam.

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sejak tahun 1999 sampai saat ini sudah berjalan 10 tahun lebih, mulai berbenah diri melalui perangkat-perangkatnya sebagai dasar-dasar pijakan dalam melangkah lebih jauh dalam tataran konsep Syari’ah Ilahiyah. Antara lain :
Undang-Undang :
1.      Undang-undang No. 44 Tahun 1999, tentang penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.
2.      Undang-undang No. 11 Tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh.






Peraturan-Peraturan Daerah/Qanun :
1)      Perda No. 5 tahun 2000, tentang Pelaksanaan Syari’at Islam.
2)      Qanun Provinsi NAD, No. 10 tahun 2002, tentang Peradilan Syari’at Islam.
3)      Qanun Provinsi NAD, No. 11 tahun 2002, tentang Pelaksanaan Syari’at Islam, Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.
4)      Qanun Provinsi NAD, No. 12 tahun 2003, tentang Minuman Khamar dan sejenisnya.
5)      Qanun Provinsi NAD, No. 13 tahun 2003, tentang maisir (Perjudian).
6)      Qanun Provinsi NAD, No. 14 tahun 2003, tentang Khalwat (mesum).
7)      Qanun Provinsi NAD, No. 7 tahun 2004, tentang Pengelolaan Zakat.
8)      Peraturan Gubernur Provinsi NAD, No 10 tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Uqubat Cambuk.
9)  Matrik Perbuatan Pidana dan Hukumnya didalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dan perangkat-perangkat peraturan lainnya.














                                






HASIL WAWANCARA

Pertanyaan :
1.      Apa masalah-masalah dalam pelaksanaan syari’at Islam?
2.      Bagaiamana harapan untuk syari’at Islam?
3.      Bagaimana metode atau taktik untuk implementasi syari’at Islam sesuai dengan tauhid, akhlak dan fiqih?
4.      Bagaiman kebijakan pelaksanaan syari’at Islam?
5.      Apakah syari’at Islam mejawab semua permasalahan ke-Ummatan yang terjadi hari ini?
6.      Bagaiamana syari’at Islam itu berperan untuk menjaga agaa, jiwa, akal, kehormatan dan kesucian harta?


Jawaban :

                         .....Menurut Ibu Rusnawati...
                         Dosen Fakultas Dakwah UIN Ar-Raniry

          Banda Aceh – Untuk pertanyaan pertama, menurut beliau “Syari’at Islam itu belum bisa dilaksanakan secara kaffah. Mungkin masyarakat jika di ajak Hablum minannas di antara manusia itu dalam masyarakat okey. Akan tetapi jika di ajak Hablum minallah (hubungan dengan Allah) secara kaffah saya kira ini yang sulit diterapkan. Contohnya adalah shalat. Memang negara dan agama telah membuat aturan, tetapi kembali kepada kesadaran pada masyarakat itu sendiri”. Menurut beliau “Hablum Minallah ini sulit dipantau oleh pemerintah dan kembali kepada kesadaran individu itu sendiri. Contohnya dalam masyarakat jika kita lihat pada wanita. Apakah sudah benar busana yang mereka kenakan. Memang UU di berbagai daerah itu ada saja kontrovesi dengan kebiasaan daerah itu. Contohnya, dulu di Aceh Barat tentang jenggot dan juga bagi wanita duduk ngangkang tidak boleh. Pemerintah tidak boleh melihat satu sisi saja, mungkin dia duduk ngangkang ada penyebab lain, yang jadi permasalahan syari’at Islam itu sendiri adalah duduk antara yang bukan muhrim”. Ujar dosen Fakultas Dakwah ini, menjawab pertanyaan kami.
          Untuk pertanyaan ke-Dua, menurut beliau “Harapannya adalah agar Undang-Undang itu dapat diterapkan secara semestinya atau secara kaffah. Memang penyelanggarannya itu bukan sekarang saja dan penuh tantangan. Tantangan bagi masyarakat kita bagaiman pelaksanaan dari syari’at Islam itu”. Ujar beliau, ditambahkanya: “Kadang saya berfikir sebenarnya syari’at Islam itu dibuat untuk siapa sih, kenapa masyarakat itu tidak mematuhi syari’at Islam itu, padahal kita terbungkus dalam syari’at itu. Apakah syari’at Islam itu hanya un ustad atau yang berkaitan dengan syari’at. Karena saya lihat sendiri di dalam masyarakat kita, kurangnya kesadaran dalam pelaksanaan syari’at Islam itu. Seharusnya jika sudah ada syari’at Islam itu tidak ada lagi pencurian, tidak ada lagi yag namanya shalat itu di suruh, waktu maghrib tidak ada lagi warung-warung yang terbuka, dan jika mendengar azan langsung ke Mesjid, dan segala aktivitas dihentikan itulah sebenarnya tujuan dari penerapan syariat Islam itu”.
          Untuk pertanyaan yang ke-Tiga, menurut beliau “Banyak program-program pemerintah yang kurang jalan. Seperti pengajian ba’da Maghrib dan segala macam itu sebenarnya sebuah taktik, memang ada daerah yang menerapkan, tapi tidak semua. Karena apa? Karena tipisnya kesadaran pada masyarakat tersebut. Apa yang harus dilakukan? Ya mendidik generasi muda dari kecil, jika generasi tua itu sudah tidak mungkin dibebankan kepada mereka”. Beliau tambahkan, “Tetapi apa cara yang harus dilakukan agar syari’at Islam ini bisa diterapkan secara kaffah, kembali kepada kesadaran individu masyarakat itu sendiri. Tidak mungkin pemerintah memantau kita selalu waktu shalat, dan tidak mungkin WH selalu memantau perbuatan kita, itu tidak akan terjadi dan kalaupun terjadi itu akan menghabiskan biaya yang sangat besar, mungkin dapat diadakan program atau sosialisasi-sosialisasi”. “Dalam lingkup pengetahuan alangkah baiknya jika menguasai semua bidang.  Dan tidak menguasai satu bidang saja. Tapi kalau bisa generasi selanjutnya di perbaiki dari semua sisi”.
          Untuk pertanyaan yang ke-Empat, menurut beliau “Syari’at Islam itu harus bekerja sama dengan setiap elemen, dengan setiap Instansi . jadi, syari’at Islam itu tidak dibuat dan dipatuhi oleh satu elemen saja, dia harus semua unsur terlibat di sana. Karena jika satu elemen saja artinya tidak menyeluruh. Jadi semuanya harus terlibat, agar bisa melaksanakan syari’at Islam itu seperti yang diharapkan.” Beliau menambahkan, “Setiap kebijakan itu tidak boleh bertentangan dengan UU karena kita tunduknya ke pusat. Tentang kebijakan-kebijakan ini pemerintah juga harus peka terhadap masyarakat. Jangan hanya ingin menerapkan saja tetapi tidak pernah disosialisasikan misalnya harus begini atau sebagainya”.
          Untuk pertanyaan ke-Lima, menurut tanggapan beliau, “Sebenarnya syari’at Islam itu sudah menjawab semua masalah ke-Ummatan hari ini. Cuman, tinggal pelaksanaan syari’at Islam itu sendiri. Tergantung dari masyarakatnya itu sendiri. Kenapa permasalahan ini tidak terjawab sebenarnya kembali kepada kesadaran masing-masing individu itu”.
          Untuk pertanyaan ke-Enam, menurut beliau “Sebenarnya tanpa syari’at Islam pun bisa asalkan ada kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Dengan adanya syari’at Islam minimal masyarakat sedikit takutlah karena ada undang-undang yang mengikat dan ada yang membentengi mereka dengan undang-undang yang membuat masyarakat itu tidak bisa melanggar peraturan sesuka hati mereka”. 

REKOMENDASI

Sehubungan dengan wawancara yang dilakukan. Narasumber bersedia untuk di wawancarai untuk kepentingan tugas akhir yang diberikan oleh dosen pembimbing mata kuliah Study Syari’at Islam di Aceh.

Yang bertanda tangan di bwah ini :
Nama              : RUSNAWATI
Pekerjaan       : Dosen di Fakultas Dakwah
Asal                 : Lhokseumawe

Memberikan rekomendasi kepada nama yang tercantum di bawah ini :
Nama              : SURYADI
Nim                 : 140401152
Alamat           : Jln. Inong Balee, Darussalam


Agar dapat digunakan seperlunya.













                                                           











PENUTUP

A.    Simpulan
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sejak tahun 1999 sampai saat ini sudah berjalan 10 tahun lebih, mulai berbenah diri melalui perangkat-perangkatnya sebagai dasar-dasar pijakan dalam melangkah lebih jauh dalam tataran konsep Syari’ah Ilahiyah. Antara lain :
Undang-Undang :
3.      Undang-undang No. 44 Tahun 1999, tentang penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.
4.      Undang-undang No. 11 Tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh.
Peraturan-Peraturan Daerah/Qanun :
10)  Perda No. 5 tahun 2000, tentang Pelaksanaan Syari’at Islam.
11)  Qanun Provinsi NAD, No. 10 tahun 2002, tentang Peradilan Syari’at Islam.
12)  Qanun Provinsi NAD, No. 11 tahun 2002, tentang Pelaksanaan Syari’at Islam, Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.
13)  Qanun Provinsi NAD, No. 12 tahun 2003, tentang Minuman Khamar dan sejenisnya.
14)  Qanun Provinsi NAD, No. 13 tahun 2003, tentang maisir (Perjudian).
15)  Qanun Provinsi NAD, No. 14 tahun 2003, tentang Khalwat (mesum).
16)  Qanun Provinsi NAD, No. 7 tahun 2004, tentang Pengelolaan Zakat.
17)  Peraturan Gubernur Provinsi NAD, No 10 tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Uqubat Cambuk.
18)  Matrik Perbuatan Pidana dan Hukumnya didalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kembali kepada permasalahan tadi, yang menjadi inti pokok dalam syari’at Islam itu adalah penerapannya dan kedaran dari masyarakat itu sendiri. Jika tidak ada kesadaran dari masyarakat walau bagaimanapun syari’at ini kerasnya, maka itu tidak akan berpengarauh pada individu masyarakat itu sendiri. Sehingga, yang sangat di perlukan sekarang ini agar syari’at Islam itu dapat diterapkan dan dilaksanakan secara kaffah adalah kesadaran dari masyarakat itu sendiri.





KABAR SIMEULUE

DPRK Simeulue Menunggu Konfirmasi Dari Bupati Terkait PDKS.
Medianad, Banda Aceh. Ketua dan anggota Komisi B DPRK Simeulue melakukan kunjungan silahturahmi dengan ketua dan kader FORKADI (Forum Kader Dakwah Islam) Simeulue dan beberapa mahasiswa perwakilan dari IPELMAS(Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Simeulue) pada Jum’at(03/04) malam di Zakir Kopi, Lampriet. Dalam pertemuan tersebut komisi B DPRK Simeulue dan mahasiswa Simeulue berdiskusi terkait permasalahan-permasalahan yang terjadi di Kabupaten Simeulue. Salah satu yang di diskusikan terkait PDKS(Perusahaan Daerah Kabupaten Simeulue) yang bergerak di bidang perkebunan sawit.
            Abdul Razak selaku anggota komisi B DPRK Simeulue menjelaskan bahwasanya, “17 dari 20 anggota DPRK Simeulue menyetujui agar PDKS dikembalikan kepada daerah bukan dikelolah oleh pihak swasta. Beliau menambahkan, DPRK Simeulue telah membuat surat rekomendasi yang ditujukan kepada Bupati Simeulue terkait pengembalian PDKS kepada daerah pada Senin (09/03). Akan tetapi hampir sebulan rekomendasi tersebut belum di tindaklanjuti oleh Bapak Bupati. Jadi, DPRK Simeulue dalam keadaan menunggu hasil dari rekomendasi tersebut”, ujar beliau.
            Ihya Ulumuddin selaku Ketua Komisi B DPRK Simeulue menambahkan, “Jika Bupati Simeulue tidak kunjung merespon atau menindaklanjuti rekomendasi dari DPRK tersebut, maka DPRK akan memanggil Bupati ke Kantor DPRK dalam sebuah rapat terkait apa saja alasan-alasan Bupati tidak merespon dan tidak menindaklanjuti rekomendasi dari DPRK tersebut. Kita berharap agar PDKS kembali dikelolah oleh daerah bukan oleh pihak ketiga atau PT. Kasama Ganda. Karena PDKS merupakan satu-satunya penghasilan daerah yang menunjang ekonomi dan pembangunan di Kabupaten Simeulue. Karena ada 18 komitmen dari PDKS yang harus dipenuhi, salah satu komitmennya adalah memberikan beasiswa kepada pelajar dan mahasiswa Simeulue. Tentu ini jika terealisasikan akan memberikan manfaat bagi masyarakat untuk mempermudah pembiayaan anak mereka baik di jenjang perguruan tinggi maupun sederajat SMA, tegas beliau yang kerap disapa Pak Ihya.


 OLEH : SURYADI